Kedaulatan Pangan di Era Digital
![]() |
Sumber: Pixbay.com |
Hari ini kita sering mendengar klaim bahwa hadirnya aplikasi digital—seperti Gojek, Grab, Shopee, Tokopedia, dan lain-lain—telah menciptakan lapangan pekerjaan, membantu UMKM naik kelas, dan memodernisasi kehidupan masyarakat. Sekilas tampak benar. Namun bila kita lihat lebih dalam, benarkah mereka membawa sesuatu yang benar-benar baru?
Sebelum ada aplikasi, ojek sudah ada di pangkalan-pangkalan. Jual beli juga sudah ramai di pasar-pasar rakyat. Artinya, yang dilakukan perusahaan digital bukanlah menciptakan sektor baru, melainkan mengambil alih aktivitas lama, membungkusnya dengan teknologi, lalu menguasai jalannya distribusi.
Awalnya semua terasa mudah dan modern. Promo melimpah, tarif murah, transaksi lancar. Tapi perlahan wajah aslinya muncul. Ojek pangkalan mati, toko-toko sepi, pasar tradisional kehilangan pembeli. Para pekerja di lapangan tidak lagi bebas menentukan harga jasanya, melainkan harus tunduk pada aturan algoritma. Pada akhirnya, kalau mau naik ojek harus lewat satu-dua aplikasi saja, kalau mau jualan harus ikut algoritma e-commerce. Pilihan rakyat dipersempit, aturan ditentukan sepihak.
Yang lebih ironis, keuntungan besar justru mengalir keluar negeri. Driver ditarik pajak, UMKM dipotong komisi, sementara pemilik aplikator duduk nyaman menikmati profit dari kantor pusat di luar Indonesia. Inilah wajah penjajahan modern—datang bukan dengan kapal, melainkan lewat server dan aplikasi.
Cermin dari Pertanian
Situasi ini sejatinya tidak asing bagi kita. Dunia pertanian sudah lama mengalaminya. Petani adalah pihak yang bekerja paling keras: menanam, merawat, panen. Namun ketika tiba saatnya menjual, harga bukan ditentukan oleh petani, melainkan oleh pedagang pengumpul atau tengkulak. Petani hanya menjadi price taker, penerima harga yang dipatok oleh rantai distribusi.
Di era digital, pola ini berulang dengan wajah baru. Driver ojek dan pedagang UMKM memang berkontribusi langsung, tapi yang menentukan harga, komisi, bahkan visibilitas produk adalah aplikator. Algoritma berfungsi seperti tengkulak digital—mengendalikan pasar dari balik layar.
Bedanya, tengkulak tradisional bekerja di lingkup lokal, sedangkan tengkulak digital beroperasi dalam skala nasional bahkan global. Kekuasaan menjadi lebih terpusat, dan dampak ketimpangan semakin besar.
Penjajahan Modern yang Halus
Baik dalam pertanian maupun ekonomi digital, polanya sama:
- Mereka yang bekerja keras tidak berdaulat atas hasilnya.
- Mereka yang mengendalikan distribusi menikmati margin terbesar.
- Konsumen diarahkan, produsen ditekan, pasar dipasung.
Ini bukan sekadar era digital yang memudahkan, tetapi juga era algoritma yang memeras dalam diam. Inilah bentuk baru penjajahan—tidak dengan senjata, melainkan dengan data, aplikasi, dan kontrol pasar.
Saatnya Sadar dan Berdaulat
Kita perlu menyadari bahwa kedaulatan ekonomi tidak hanya soal siapa yang bekerja, tetapi juga siapa yang mengendalikan distribusi dan menentukan harga. Petani harus diberdayakan agar tidak tergantung tengkulak. Demikian pula, UMKM dan pekerja digital harus dilindungi agar tidak hanya menjadi “sapi perah” algoritma.
Pemerintah wajib hadir dengan regulasi yang berpihak, bukan hanya pada investor asing. Kita butuh platform lokal yang kuat, dan konsumen pun perlu sadar untuk tidak hanya terjebak dalam promo sesaat.
Karena penjajahan modern tidak lagi datang dengan kapal, melainkan dengan server. Dan kedaulatan ekonomi harus kita rebut kembali, agar teknologi benar-benar memanusiakan, bukan menghisap. Maju Pertanian Kita, Maju Indonesia.