Wajah Petani, Wajah Pertanian Kita
Pada Jum’at, 29 Agustus 2025 malam, di gedung serbaguna dusun Plakaran yang masih setengah jadi, deretan kursi plastik biru tersusun rapi. Lampu neon menggantung seadanya, menerangi wajah-wajah petani yang sebagian besar sudah beruban. Di tangan mereka ada segelas teh hangat, di hadapan mereka ada obrolan serius tentang lahan, musim tanam, pupuk, dan hasil panen.
Itulah suasana pertemuan kelompok tani di desa. Meskipun sederhana, tapi terasa penuh makna.
Petani Sepuh, Penopang Pangan
Kalau kita perhatikan, sebagian besar yang hadir adalah bapak-bapak sepuh. Mereka inilah tulang punggung pertanian kita. Dengan modal cangkul di tangan dan pengalaman puluhan tahun, mereka menjaga sawah dan ladang tetap hidup. Mereka tahu kapan hujan biasanya turun, kapan tanah perlu istirahat, dan bagaimana caranya mengatasi hama dengan cara-cara tradisional. Meskipun pada masa sekarang sangat sulit memprediksi musim karena siklus yang berubah-ubah.
Namun, ada satu pertanyaan yang muncul: siapa yang akan melanjutkan setelah mereka?
Di tengah keterbatasan, kelompok tani harus selalu punya cara untuk bertahan. Pertemuan rutin seperti ini bukan sekadar formalitas, tapi ruang untuk saling berbagi: siapa yang kesulitan pupuk, siapa yang lahannya terkena hama, atau bagaimana cara menjual hasil panen agar lebih menguntungkan.
Di gedung sederhana itu, kebersamaan tumbuh. Gotong royong masih hidup. Dari sinilah upaya menjaga pertanian sebuah desa.
Baca juga: KWT Dewi Sri Dusun Plakaran Gelar Pertemuan dan Pelatihan Pembuatan Media Tanam dan POC
Antara Tradisi dan Teknologi
Hari ini kita sering mendengar tentang pertanian modern, drone yang bisa menyemprot tanaman, sensor tanah yang bisa memberi tahu kadar air, bahkan kecerdasan buatan (AI) yang bisa memprediksi cuaca. Semua terdengar keren, tapi kalau kita lihat kenyataan di lapangan, jaraknya masih jauh.
Petani sepuh kita masih lebih percaya pada feeling daripada aplikasi di ponsel. Mereka masih mengandalkan cangkul, bukan sensor. Dan itu wajar, karena teknologi memang butuh jembatan agar bisa diterima.
Harapan Regenerasi
Pertemuan malam itu juga seperti cermin. Kita melihat wajah-wajah petani sepuh yang penuh semangat, tapi sekaligus menyimpan kekhawatiran: bagaimana dengan anak-anak muda? Apakah mereka mau turun ke sawah, atau lebih memilih profesi lain?
Inilah PR besar kita: regenerasi. Pertanian butuh darah segar, butuh anak-anak muda yang berani kembali ke tanah, yang bisa menggabungkan kearifan lokal dari orang tua dengan teknologi baru yang mereka kuasai.
Dari pertemuan sederhana itu, kita belajar bahwa wajah petani adalah wajah pertanian kita. Sederhana, penuh kerja keras, kadang diliputi keterbatasan, tapi selalu ada semangat yang tak pernah padam.
Kelompok tani menjadi ruang kecil yang menjaga semangat itu tetap hidup, sembari menanti lahirnya generasi baru yang siap melanjutkan. Karena pada akhirnya, pertanian bukan hanya tentang menanam padi atau jagung, tapi tentang memelihara dan mengelola kehidupan. Maju Pertanian Kita, Maju Indonesia.